14 March 2011

Hebatnya Jepang Dalam Antisipasi Bencana

 

Stasiun televisi Jepang, NHK, menyiarkan tsunami sejak dari gelombang pertama menyentuh pantai hingga merangsek jauh ke kota. Lepas dari kengeriannya, ini adalah dokumentasi terbaik tentang tsunami yang pernah dibuat. Sang juru kamera seperti telah menantikan momen untuk merekam empasan gelombang air berkecepatan 800 km per jam itu.

Gambar itu tidak diperoleh secara kebetulan. Mereka memang sangat siap. Deputi Direktur Pusat Pemberitaan Bencana dan Keselamatan Nippon Hoso Kyokai (NHK) Takeshi Tonoike yang berkunjung ke Kompas, pekan ini, menuturkan, stasiun televisinya sangat siap menghadapi bencana. NHK memiliki 14 helikopter yang siap diterbangkan begitu gempa mengguncang. Bahkan, mereka memiliki 73 alat pengukur seismik yang dipasang di seluruh wilayah Jepang.

”Begitu gempa besar terjadi, seluruh siaran akan dihentikan untuk menayangkan peringatan dari JMA (Japan Meteorogical Agency, semacam Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). Helikopter dan wartawan akan dikerahkan,” katanya.

Kesiapan NHK adalah contoh bagaimana Jepang mempersiapkan diri menghadapi bencana. Dua jam setelah gempa, Perdana Menteri Jepang Naoto Kan langsung membentuk gugus tugas darurat. Ia mengatakan, hal tersebut untuk meminimalkan dampak bencana dan mengatasi secepatnya.

Tak hanya pemerintah, masyarakat dan pihak swasta juga sangat siap. ”Setidaknya sebulan dua kali kelurahan di sini memperingatkan kami bahwa bencana besar akan datang. Masyarakat dipersiapkan dengan sangat baik,” kata Junianto Herdiawan, warga Indonesia yang tinggal di Tokyo, sesaat setelah gempa melanda Jepang.

Saat gempa mengguncang sekitar pukul 14.46 waktu setempat, Junianto berada di lantai sembilan sebuah gedung tinggi di Tokyo. Namun, dia merasa aman karena konstruksi bangunan tahan gempa merupakan keharusan di Jepang.

”Pengelola gedung ini sangat profesional menghadapi gempa. Detail pengumuman di-update terus,” kata Junianto, yang saat itu masih terjebak dalam gedung. ”Lift masih dimatikan. Kami disuruh stay. Petugas gedung inspeksi ke tiap lantai. Padahal ini masih goyang-goyang,” katanya.

Junianto yang dihubungi melalui Twitter mengaku tenang walau anaknya yang berumur delapan tahun masih di sekolah. ”Gurunya bilang, kalau di sekolah malah aman. Mereka dilatih untuk menghadapi ini,” katanya, yang terus berhubungan dengan anaknya melalui Twitter. Walaupun jaringan telepon terputus, internet tak terganggu.

Jika dibandingkan kekuatan gempa dan besaran tsunami yang menerjang Aceh pada tahun 2004, gempa dan tsunami yang menerjang Prefektur Miyagi ini setara. Gempa Miyagi berkekuatan 8,9 skala Richter (SR), sama dengan kekuatan gempa Aceh yang juga sebesar 8,9 SR. Demikian juga ketinggian tsunami nyaris sama, sekitar 10 meter. Bedanya, tsunami dilaporkan menjangkau Kota Banda Aceh hingga sekitar 9 kilometer, sedangkan di Jepang masuk ke Kota Miyagi sejauh 24 km.

Masih banyak faktor lain yang harus diperhitungkan. Namun, terkait jumlah korban, bisa berbanding ribuan kali lipat. Bencana Aceh menewaskan lebih dari 200.000 jiwa, sedangkan korban tewas di Jepang yang sampai saat ini dicatat sekitar 1000 orang.

Teknologi dan budaya

Senior Coordinator for International Earthquake and Tsunami Information JMA, Takeshi Koizumi, yang ditemui di Jakarta baru-baru ini, mengatakan, kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa dan tsunami harus memerhatikan paduan aspek teknologi deteksi dini dan kesiapsiagaan masyarakat.

Jika Indonesia masih bergulat membangun deteksi dini tsunami, Jepang telah membangun sistem deteksi dini gempa (early earthquake warning/EEW) sejak tahun 2007.

Dengan sistem ini, Jepang bisa menginformasikan ke masyarakat sebelum guncangan gempa melanda mereka.

Menurut Koizumi, gelombang gempa ada dua jenis. Yang pertama gelombang-P (preliminary tremor) dan yang kedua gelombang-S (strong tremor). Gelombang-S ini yang menyebabkan kerusakan bangunan.

Begitu terjadi gempa, gelombang-P biasanya menjalar 5 km per detik atau hampir dua kali lipat lebih cepat daripada gelombang-S yang berkecepatan 3 km per detik. ”Dengan fokus mendeteksi gelombang-S, kami bisa mengalkulasikan kapan dan berapa daya rusak gelombang-S di suatu daerah,” katanya.

Semakin jauh lokasi daerah dari pusat gempa, informasi yang diterima bisa lebih dini, bisa sampai 10-20 detik sebelum gempa mengguncang.

”Peringatan beberapa detik itu tak akan berguna jika masyarakat tidak siap,” kata Bambang Rudyanto, penasihat senior Asian Disaster Reduction Center (ADRC) yang berbasis di Tokyo.

Menurut Bambang, masyarakat Jepang sangat siap menghadapi gempa dan tsunami. Pendidikan bencana sudah masuk dalam kurikulum di sekolah-sekolah. Secara rutin warga melakukan simulasi menghadapi situasi terburuk.

Dengan demikian, walaupun gempa 8,9 SR yang disusul tsunami kali ini di luar perkiraan JMA, mereka telah siap. ”Korban masih ada, belum bisa zero victim. Namun, manajemen bencana yang dipersiapkan berjalan dengan sangat baik,” kata Takako Chinoi, peneliti ADRC.

Bagaimana jika bencana itu melanda kota-kota di Indonesia? Sudah siapkah kita, karena sebagaimana Jepang, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap gempa dan tsunami.

 

sumber: Kompas.com

No comments:

Post a Comment