16 March 2011

Bercermin Dari Tsunami Jepang

Mata hati Indonesia pernah terhenyak. Manakala, ratusan ribu manusia tergulung tsunami ganas di Aceh pada 2004 lalu. Lalu, rangkaian kisah-kisah tragis bermunculan. Di saat yang tak terlalu lama, juga hadir kisah-kisah menggetarkan kalbu.

Per individu, bukan satu dua manusia yang bisa selamat, dengan cara yang bisa disebut sebagai mukzijat. Mereka adalah orang-orang yang selamat meski gulungan ombak besar (atau tsunami) menghembalang ke seluruh garis pantai. Ada yang selamat karena naik pohon kelapa. Terapung (tetapi tetap hidup) berhari-hari di tengah lautan. Atau juga bayi yang tetap hidup meski sempat terseret arus.

Lain perkara, bila aksi-aksi "menyelamatkan diri" dari bencana itu hadir karena upaya bersama. Atau, paling tidak, ikhtiar penyelamatan yang dilakukan karena gerak kesadaran yang sungguh-sungguh. Inilah sebenarnya yang jauh lebih menggetarkan. Publik Indonesia pun, sejatinya, mampu melakukan itu. Manakala ribuan atau jutaan orang ikut membantu para korban Tsunami Aceh. Mulai dari menjadi relawan, pendonor, hingga sekadar member dana (di jalanan, atau transfer ke Bank).



Akan sangat berbeda, jika cerita orang yang selamat dari bencana karena faktor kebetulan atau luck semata. Mungkin mata sembap karena haru. Akan tetapi, semuanya akan segera berlalu. Beda bila konteks "orang selamat" karena daya juang dan mentalitas setegar karang. Inilah yang terjadi, misalnya, ketika 33 orang penambang Cile terkubur di dalam lubang tambang (berkedalaman hampir 700 meter). Mereka terjebak di dasar perut bumi. Daya juang, disiplin, kepemimpinan, dan keyakinan untuk selamat menjadi faktor penolong. Selain tentu saja konsentrasi dan totalitas pertolongan yang diberikan kepada mereka.

Mentalitas

Di mana pun, tragedi bencana alam (natural disaster) punya daya rusak hebat. Sering kali manusia tak siap. Pun, ketika kecanggihan teknologi, metode deteksi dini (early warning system) terpasang canggih, atau sudah mampu merekayasa mitigasi bencana dengan baik. Tetap saja, korban berjatuhan. Barangkali ini juga bagian dari petunjuk agar manusia tidak sombong dengan kedigdayaan dalam teknologi. Karena toh, misalnya, hewan ternak, unggas, dan beberapa mamalia jauh lebih mampu mendeteksi potensi tsunami (seperti cerita Gajah Thailand, burung-burung, dan ayam, yang berhamburan gelisah ketika tsunami akan meledak).

Jadi, petikan hikmah dari segala bencana tak lain adalah membangun mentalitas tegar agar skala kerusakan tak mengalami eskalasi (pembesaran). Bukankah kerap kali korban berjatuhan justru karena panik luar biasa, tak tahu harus berbuat, dan kalang kabut tak tentu arah. Bukankah pula, karena mental mistis takhayul juga menambah para manusia yang celaka (bukan menghindar, malah mendekati wilayah yang berbahaya).

Inilah, yang agaknya, menjadi rangkaian kesigapan warga Jepang. Benar, korban telah berjatuhan. Prahara hebat juga menghancurkan banyak fasilitas dan bangunan di sana. Namun, ada perilaku dan cara yang menggetarkan kalbu. Betapa di tengah kepungan bahaya, mereka masih memperlihatkan sikap tenang, disiplin, dan saling mengingatkan untuk tidak panik. Berita di media memperlihatkan, bagaimana ribuan orang tetap tertib untuk antre (dalam melakukan evakuasi). Kalaupun ada warga Jepang yang kelimpungan, itu tak berlangsung lama. Karena kolega atau manusia di sekitarnya saling mengingatkan. "Daijobu!" demikianlah kata-kata pengingat sesama mereka, yang artinya: tidak ada apa-apa.

Fenomena ini tentu tak hadir tiba-tiba. Mental disiplin, percaya pada nalar, dan berbuat secara sadar dan sistematis dalam banyak hal membantu dalam menekan besaran kerusakan akibat bencana. Di Jepang, tradisi ini sudah mengakar. Maklumlah, negeri Sakura ini masuk dalam ring of fire, lingkaran bencana alam yang sering terjadi (terutama gempa). Akan tetapi, mereka tidak meratap dan frustrasi. Kecuali, malah berbuat bijak. Bersiap dengan segala hal. Satu contoh yang gampang dipetik adalah menciptakan struktur bangunan yang tahan gempa. Inilah gambaran kaca bening dari sikap sejati orang-orang Jepang.

Bagaimana kita?

Berbalik punggung dengan pengalaman kita. Kita bukannya tak menerapkan metode kendali bencana atau apa pun yang disebut sebagai mitigasi bencana. Namun, selalu saja persoalan menjadi tambah rumit. Kepanikan massal-seperti yang terjadi di Manado, Maluku, dan Papua, menyusul Tsunami Jepang kemarin-adalah bagian dari ketidaksiapan mental itu. Mulai dari mental pihak yang memiliki otoritas, untuk memberikan informasi yang akurat, mental dari pejabat yang abai melakukan perbuatan standar untuk mengendalikan situasi, hingga mentalitas warga itu sendiri. Akibatnya, seperti kabar yang beredar, Kota Manado mengalami kemacetan di mana-mana.

Saripati pelajaran dari Tsunami Jepang yang lainnya terletak pada mental untuk berbuat pascabencana. Terdengar sepi di negeri ini, tentang penemuan, inovasi, atau metode untuk menghindar, mengurangi, dan penyelamatan sistematis dari bencana. Mentalitas kita adalah gone with the wind (semuanya lalu bersama angin). Benar-benar sebuah kaca buram masyarakat kita.

 

sumber: koran republika

No comments:

Post a Comment