07 June 2010

Belajar Manusiawi Bersama Gajah

Untuk kedua
kalinya para
prajurit itu
menangis. Yang
pertama ketika
para prajurit anggota tim
penggiring gajah dari Air
Sugihan ke Lebong Hitam di
Sumatera Selatan berhasil
memindahkan 232 gajah ke
tempat barunya, akhir tahun
1982. Mereka menangis lagi
saat diberi penghargaan
langsung oleh Presiden
Soeharto di Istana.
”Mereka yang biasa memegang
senapan ternyata bisa
menangis. Gajah telah
memanusiakan manusia,” ujar
mantan Menteri Lingkungan
Hidup Emil Salim, akhir Mei
lalu di Jakarta, mengenang
proyek penggiringan gajah
pada 1982.
Kisah itu bermula dari telepon
yang diterima Emil. ”Pak,
gerombolan gajah akan
ditembak tentara karena akan
melintasi perkampungan, ”
lapor seseorang di seberang
sana.
Sebenarnya memang bukan
salah gajahnya. Rombongan
gajah yang rutin ke laut untuk
memenuhi kebutuhan garam
tubuhnya, ketika hendak
kembali ke hutan jalurnya
sudah terpotong permukiman
transmigran.
Kaget mendengar kabar
tersebut, hari itu juga Emil
Salim menghadap Presiden
Soeharto. Presiden langsung
memerintahkan penghentian
rencana penembakan. Kepada
Emil Salim, Soeharto meminta
gajah dipindahkan. ”Wah,
bagaimana caranya? Di dunia
belum pernah ada proyek
pemindahan gajah seperti itu,”
kenang Emil Salim.
Mengikuti proses penggiringan
di lapangan, Emil terkesan
pada satwa berbadan besar
itu. ”Mereka berbaris teratur.
Betina di depan dan di samping
rombongan. Di tengah
berkumpul semua anak gajah
dan di belakang berbaris gajah
jantan. Luar biasa, mereka
seperti manusia, ” ujar Emil.
Gajah berbaris tenang digiring
dengan bunyi-bunyian dari
berbagai benda yang dipukul —
ini atas usul Komandan Tim
Ganesha Letkol I Gusti
Kompyang Manila.
Saat menyeberangi sungai
selebar 60 meter, gajah-gajah
dewasa berjajar di sungai
membentuk jembatan. Anak-
anak gajah menyeberang di
atas punggung mereka.
”Benar-benar ajaib,” ujar Emil.
Gajah-gajah itu sampai ke
tujuan setelah 44 hari.
Perjalanan melalui jalur
sepanjang 70 kilometer itu
sukses berkat kerja keras lebih
dari 400 anggota tim Operasi
Ganesha, dari berbagai
instansi plus masyarakat
transmigran.
Tidaklah mengherankan ketika
gajah-gajah itu sampai ke
tempat tujuan setelah 44 hari
berjalan, menjadi momen
mengharukan. Bahkan juga
bagi para prajurit
penggiringnya. ”Semua
menangis. Ternyata kita
belajar menjadi manusia dari
gajah, ” kata Emil.
Emil mengemukakan, ketika
masih anak-anak dia
mendengar dari sang ayah
yang pejabat pekerjaan umum
bahwa pembuatan jalur jalan
selalu dibuat sejajar dengan
jalur lintasan gajah. ”Jalur
jalan yang dibangun tidak
boleh memotong jalur migrasi
gajah, ” ujarnya. Alasannya
jelas, yaitu agar habitat gajah
tidak terganggu —salah satu
cara konservasi adalah
mempertahankan habitat—dan
agar tidak terjadi insiden gajah
menyerang perkampungan
manusia.
Dari kisah itu kita mestinya
mampu berefleksi bahwa
aktivitas ekonomi di Indonesia
selama ini telah mengabaikan
hak hidup hewan maupun
tumbuhan karena pembabatan
hutan terus berlangsung. Di
sisi lain, praktik seperti itu
jelas berakibat langsung pada
berkurangnya
keanekaragaman hayati secara
masif.
Pernyataan politik tidaklah
memadai. Yang dibutuhkan
adalah perubahan menyeluruh
hingga dalam praktik. Di situ
perlu ada landasan etika yang
diterjemahkan dalam
penegakan hukum....

No comments:

Post a Comment