18 April 2011

Bahaya Anemia Pada Anak

Yakinkah Anda si kecil memiliki cadangan besi yang cukup?

Anemia ternyata tidak cuma mengakibatkan seseorang mengalami lemah, lesu, letih. Lebih dari itu, ketika terjadi pada anak, sejumlah gangguan yang serius bisa menyergapnya. “Jangan sepelekan anemia,” seru dr Badriul Hegar SpA(K) selaku ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Anemia merupakan masalah kesehatan yang jamak dijumpai pada anak Indonesia. Kasusnya lebih banyak terjadi lantaran kekurangan besi. Istilahnya, anemia defi siensi besi (ADB). “Baik akibat masukan makanan yang tidak adekuat, cepatnya pertumbuhan saat bayi dan remaja, kecacingan, atau penyebab lainnya,” jelas Hegar.

Persoalannya, tubuh tidak memberi sinyal ketika mengalami ketidakcukupan cadang an besi. Anak tak tampak pucat maupun lesu. “Biasanya ADB tidak menimbulkan gejala,” imbuh Prof dr Djajadiman Gatot SpA(K).

Kekurangan simpanan besi di dalam tubuh dapat diketahui lewat pemeriksaan darah. Namun, pemeriksaan Hemoglobin saja tidak cukup. “Kita harus mengecek kadar serum feritin yang menunjukkan total cadangan besi,” kata Djajadiman yang menjabat ketua Satgas Anemia Defisiensi Besi IDAI.

ADB terjadi dalam tiga tahap. Pertama, deplesi besi (iron depletion state). Saat itu, cadangan besi di dalam tubuh sudah mulai berkurang namun besi di dalam plasma masih normal. “Nilai hemaglobin dan hematokrit juga demikian,” urai Djajadiman.

Kedua, tubuh akan mengalami defisiensi besi tanpa anemia alias iron deficiency state. Di tahap ini cadangan besi dalam plasma sudah berkurang. “Namun, hemoglobin masih normal,” jelas Djajadiman.

Ketiga, tubuh baru mengalami anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). Di saat inilah cadangan besi tubuh dan di plasma sudah menurun. “Nilai hemoglobin (Hb) juga telah merosot,” ucap Djajadiman.

Kandungan besi paling banyak terdapat di sel darah merah (66 persen). Sisanya, tersimpan sebagai cadangan di otak, hati, limpa, dan sumsum tulang. Ketika terjadi anemia, simpanan besi di organ sudah sangat kurang.

Dulu, ketika anak mengalami ADB, ada gejala khas yang muncul. Di antaranya, permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap, bibir pecah-pecah, kuku jemari pecah-pecah dan berbentuk seperti sendok. Sekarang, jarang sekali menimbulkan pertanda. “Bahkan, saat kadar hemoglobin rendah berkepanjangan, tubuh akhirnya beradaptasi sehingga tidak ada gejala anemia,” tutur Djajadiman.

Sementara itu, anemia yang berkembang cepat menimbulkan pengaruh besar pada tubuh. Gejalanya dengan mudah terpantau. “Anak dengan anemia berat sering kali tampak sesak napas, detak jantung cepat, mudah lelah, bengkak di kaki,” kata dokter dari RS Cipto Mangunkusumo ini.

Sederet masalah

Anak yang mengalami kekurangan besi pada masa bayi memiliki risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang yang serius. Ia berisiko mengalami gangguan kognitif dan perilaku. “Ketika usia sekolah, pengaruhnya makin jelas dengan adanya kesulitan belajar dan ketidakterampilannya dalam memecahkan masalah,” papar dr Soedjatmiko SpA(K) MSi.

Sementara itu, kekurangan besi sejak janin hingga usia dua tahun akan mengganggu perkembangan cabang-cabang dan sambung an (sinaps) antara sel-sel otak. Di masa bayi, kurangnya pasokan besi akan menghambat pembentukan neurotransmitter. “Zat ini padahal sangat penting dalam proses pengendalian emosi, pemusatan perhatian, dan perilaku anak,” imbuh Soedjatmiko.

Selain itu, minimnya asupan besi pada masa bayi juga dapat menghambat pembentukan selubung saraf (mielin). Selubung saraf diketahui berperan penting dalam kecepatan berpikir anak. “Tak heran jika anak yang kekurangan besi akan terganggu kecerdasan dan perilakunya,” kata dokter spesialis anak ini.

Tentunya, nutrisi berperan penting dalam kecerdasan anak. Namun, ada faktor genetika yang juga memengaruhi. “Di samping memperbaiki nutrisi dengan mengonsumsi makanan yang beragam dan lengkap gizi, stimulasi serta kasih sayang juga dibutuhkan dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak,” tandas Soedjatmiko.

Rawan ADB

Siapakah yang rawan terkena ADB? Djajadiman menjelaskan angka kejadian ADB paling tinggi terjadi pada balita. “Meski begitu, setiap kelompok usia anak rentan terhadap ADB.”

Semasa bayi, anak yang mendapatkan asupan besi dari Air Susu Ibu. Pada bayi yang menyusu secara eksklusif, cadangan besinya akan cukup sampai usia enam bulan dan perlahan menurun jumlahnya. “Untuk itulah setelah enam bulan bayi membutuhkan makanan pendamping ASI,” papar Djajadiman.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, sebanyak 47 persen balita terkena ADB. Selanjutnya, pada masa pubertas, anak laki-laki cenderung lebih banyak lagi yang terkena anemia defisiensi besi. Terlebih, saat itu mereka sedang pesat pertumbuhannya. “Lalu, remaja putri juga berisiko meng alaminya terkait menstruasi,” kata Djajadiman.

No comments:

Post a Comment