22 April 2011

Konvergensi Internet Dan Televisi

foto


SEBAGAI peneliti di Sekolah Kedokteran Brown University, Rhode Island, Amerika Serikat, sekaligus pendiri perusahaan riset medis Pro Thera Biologics, Yow Pin-Lim tak punya banyak waktu luang untuk hobi. "Biasanya hanya nonton film di rumah," kata Yow, 51 tahun, kelahiran Cirebon, beberapa waktu lalu.

Soal koleksi film, dia tak perlu lagi menumpuk ratusan atau ribuan keping cakram. Cukup punya koneksi Internet kecepatan tinggi dan berlangganan Netflix. Perusahaan penyedia layanan film ini sekarang mempunyai lebih dari 20 juta pelanggan di Amerika Serikat dan Kanada.

Hanya dengan membayar langganan US$ 7,99 atau Rp 70 ribu per bulan, Yow sudah bisa menikmati lebih dari seratus ribu judul film maupun serial televisi, seperti serial Glee, Weeds, dan Sons of Anarchy, lewat streaming Internet dari Netflix. "Filmnya memang tak terlalu baru," ujarnya, "tapi bukan persoalan bagi saya." Dia juga bebas merdeka memilih film apa pun yang hendak ditonton. Kemerdekaan inilah yang tak banyak dimiliki pemirsa televisi satelit ataupun pelanggan TV berbayar.

Internet telah mengubah dunia. Setelah ikut andil "membunuh" toko-toko kaset dan cakram musik lewat toko maya, seperti Apple iTunes-dan mungkin toko buku, misalnya Borders yang ditaklukkan Amazon.com-Internet sepertinya juga akan mengubah cara orang menonton televisi. Tahun ini saja perusahaan riset dari Kanada, Convergence Consulting, memperkirakan 2 juta pelanggan televisi kabel di Amerika Serikat akan beralih ke televisi Internet, seperti Netflix, Vudu, dan Amazon Instant Video.

Tak seperti siaran televisi terestrial ataupun televisi kabel, yang dibatasi frekuensi dan jumlah kanal, konten video di Internet seolah tak bertepi. Yang membatasi ledakan jumlah konten Internet saat ini barangkali hanyalah kecepatan koneksi Internet. Namun tetap saja jumlah konten video (film, serial televisi, berita, klip musik, iklan, video amatir) di Internet terus menggelembung. Pengunjungnya pun semakin hari terus bejibun.

Situs video paling top sejagat saat ini, YouTube, setiap hari dikunjungi lebih dari 25 juta orang. Situs video dari Prancis, Dailymotion, punya pengunjung setia sekitar 8 juta orang. Youku, situs video dari negeri bermiliar penduduk, Cina, menurut pemeringkatan Alexa, berada di urutan ke-49 daftar situs paling banyak dikunjungi di dunia.

Pemilik YouTube, Google, berniat merombak tampilan dan konten laman tersebut. Dana US$ 100 juta atau sekitar Rp 890 miliar akan digelontorkan ke YouTube supaya penyedia konten video gratis ini bisa bersaing dengan Netflix, Hulu, Amazon, dan jaringan televisi kabel. Menurut sumber yang dikutip Wall Street Journal, YouTube akan membuat beberapa kanal yang khusus memuat konten-konten video yang dibuat secara profesional.

Petinggi YouTube mengatakan, "Kami ingin orang-orang menonton video YouTube layaknya mereka menikmati acara televisi." YouTube juga tengah merayu para pemegang lisensi film dan acara televisi yang laris manis supaya bersedia memajang videonya pada laman mereka. Yang membuat negosiasi ini agak alot adalah model bisnis YouTube. Mereka tak memasang harga bagi penikmat video. YouTube mengandalkan pendapatan dari iklan Internet.

***

Setahun atau dua tahun lalu, untuk mengubah pesawat televisi biasa menjadi televisi Internet diperlukan sejumlah perangkat tambahan (set top box). Pekan lalu LG Electronics Indonesia mulai memasarkan pesawat televisi Internet, yang disebutnya Smart TV. Samsung Electronics dan Sony Electronics Indonesia juga sudah mulai menjual pesawat televisi serupa. Sekilas tampilan Smart TV tak ada beda dengan pesawat televisi light emitting diode (LED) biasa. Sambungkan dengan jaringan Internet dan nyalakan, maka segera tampak kenapa Smart TV ini berbeda.

Di bagian bawah layar LG Smart TV, yang dinamai Home Dashboard, ada pilihan menu Web Browser, LG Apps, MyApps, dan Media Link. Di bagian tengah, ada pilihan konten premium. "Kami sudah bekerja sama dengan beberapa penyedia konten lokal," kata Eko Adhi Suyitno, Manajer Panel Layar Datar LG Electronics Indonesia, pekan lalu. Mereka adalah DetikTV, Liputan6.com, KasKus, dan Jakarta Post.

Lewat televisi Internet LG, Samsung, dan Sony ini, penonton tak hanya bisa menikmati serial Glee atau Lost. Dengan papan kontrol kecil di tangan, penonton juga bisa berseluncur di Internet layaknya pada layar komputer. Mau menonton video Chaiyya-Chaiyya Brigadir Satu Norman Kamaru di YouTube atau memperbarui status di Facebook atau nge-tweet, keduanya bisa dilakukan sembari memelototi sinetron di SCTV. Harga televisi Internet ini masih lumayan mahal. Untuk ukuran layar 32 inci berkisar Rp 7 juta.

Di Indonesia, televisi Internet memang hal baru. Pilihan konten video lokal pun tidak banyak. Netflix, Amazon Instant, serta Hulu hanya bisa diakses di Amerika Serikat dan Kanada. Koneksi Internet masih jadi persoalan di negeri ini. "Biasanya kita memang tertinggal tiga atau empat tahun," kata Pemimpin Redaksi Detik.com Budiono Darsono. Sembari menunggu harga televisi Internet turun dan koneksi Internet semakin kencang, Detik.com sudah berancang-ancang.

Sejak dua tahun lalu, mereka membuat DetikTV-tv.detik.com, yang memuat video-video berita. "Sekarang rata-rata baru empat atau lima berita per hari," kata Budiono. Itu pun dengan kualitas gambar masih pas-pasan. Terkadang malah hanya berupa rekaman menggunakan kamera ponsel. Walaupun kualitas gambar masih pas-pasan, jumlah pengunjung DetikTV sudah lumayan. "Waktu video Norman kemarin bisa menembus 900 ribu kali klik," Budiono terbahak. Menurut dia, Detik sedang membicarakan kerja sama dengan rumah produksi untuk membuat konten-konten di DetikTV lebih bervariasi dengan kualitas gambar lebih bening.

Sejumlah perusahaan besar, seperti PT Telekomunikasi Indonesia dan Media Nusantara Citra, jauh-jauh hari sudah melirik tren televisi Internet ini. Keduanya telah mengajukan izin layanan televisi berbasis protokol Internet (IPTV). "Pemberian izin IPTV untuk Telkom tinggal soal waktu saja," kata juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Gatot S. Dewa Broto. Izin IPTV untuk Media Nusantara, yang sudah memiliki RCTI, MNC TV, dan Global TV, terganjal karena tidak memiliki layanan berbasis kabel.

Menurut Gatot, kecepatan koneksi Internet di negeri ini memang masih menjadi persoalan. Namun, jika silang pendapat soal koneksi Internet kecepatan tinggi (dengan teknologi Wi-MAX ataupun Long Term Evolution) usai, menurut dia, konten yang bisa dikirim akan jauh lebih berkualitas dan bervariasi. Barangkali pada saat itu akan segera muncul Netflix, Hulu, atau Dailymotion versi Indonesia.

No comments:

Post a Comment