06 April 2011

Tentang Perubahan Rezim Suatu Negara

Situasi di Libya akhir-akhir ini yang semakin panas tentu saja memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru, khususnya dalam kajian ilmu hubungan internasional. Selain pertanyaan tradisional mengenai kesahihan aksi militer multilateral yang diusung oleh Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, perkembangan kasus perubahan rezim di Libya memiliki beberapa karakter baru. Artikel ini secara sederhana berusaha melihat kontribusi kasus perubahan rezim di Libya terhadap perdebatan kajian dalam ilmu hubungan internasional serta dinamika hubungan internasional di tingkat yang lebih praktikal.

Berdasarkan berbagai kasus perubahan rezim yang pernah terjadi di dunia, setidaknya terdapat dua variabel mendasar yang mempengaruhinya. Variabel pertama adalah variabel internal. Variabel ini tentunya melihat dinamika internal dari negara yang bersangkutan. Proses perubahan internal dianggap merupakan proses ideal dalam perubahan rezim, karena prinsip negara memang sudah pantas dan sewajarnya merupakan hasil interaksi unit-unit anggota negara tersebut.

Variabel internal setidaknya memiliki dua varian mendasar, yaitu perubahan secara damai ataupun revolusi yang selama ini cukup dekat artinya dengan perubahan radikal dan cenderung menggunakan kekerasan. Perubahan rezim internal secara damai mungkin harus dimaknai secara relatif dan tidak semata-mata definitif. Indonesia pada 1998 dapat dijadikan bukti nyata adanya perubahan rezim yang terjadi secara internal dan berjalan cukup damai, walaupun tetap mencatat berbagai jumlah korbankekerasan.

Perubahan rezim secara internal damai setidaknya membutuhkan kekuatan internal yang terkonsolidasi. Indonesia pada 1998 memiliki berbagai kekuatan internal yang cenderung tidak homogen, tapi cukup terkonsolidasi. Perubahan rezim internal revolusioner biasanya diwarnai dengan kekuatan internal yang divergen dan relatif sama kuatnya dengan perbedaan yang sulit dapat dikonsolidasikan. Kekuatan internal yang berbeda dengan perbedaan yang sulit dikonsolidasikan ini, misalnya, apabila sebuah negara terbentuk dari kelompok kesukuan dengan prinsip tribalisme yang kuat, atau misalnya terbentuk dari kelompok agama yang sulit
dikonsolidasikan, seperti Syiah dan Sunni.

Variabel kedua dalam perubahan rezim adalah variabel eksternal atau internasional. Berdasarkan kasus-kasus perubahan rezim yang pernah terjadi di dunia, setidaknya terdapat tiga variasi mendasar dalam variabel ini. Variasi pertama adalah yang paling lunak dan karena itu tampaknya tingkat keberhasilannya sangat jarang, yaitu negosiasi diplomasi. Variasi ini mengutamakan kekuatan diplomasi, misalnya dengan perwakilan khusus (special envoy) dari pihak eksternal yang dapat mempengaruhi terjadinya perubahan rezim di sebuah negara.

Variasi kedua adalah operasi intelijen yang dilakukan oleh kekuatan eksternal untuk mempengaruhi perubahan rezim di suatu negara. Beberapa spekulasi yang beredar dalam kasus perubahan rezim di Indonesia pada 1965 menggambarkan adanya peran serta organisasi intelijen CIA. Selain itu, beberapa kasus perubahan rezim di Timur Tengah juga diklaim terjadi sebagai hasil operasi Mossad, misalnya lewat pembunuhan (political assassination) berbagai pemimpin negara di kawasan tersebut.

Variasi ketiga adalah yang secara tradisional juga paling sering ditemui dalam kasus-kasus hubungan internasional, yaitu intervensi militer. Berdasarkan berbagai kasus yang pernah terjadi, setidaknya terdapat dua tipe intervensi militer yang dilakukan untuk mempengaruhi perubahan rezim di sebuah negara. Tipe intervensi militer pertama adalah intervensi militer unilateral. Tipe ini secara definitif adalah intervensi militer yang dilakukan oleh satu negara saja untuk mempengaruhi proses terjadinya perubahan rezim di negara lain. Kasus Irak pada 2003 sempat hanya dijalankan oleh Amerika secara unilateral, walaupun dalam prosesnya kemudian beberapa negara lain tergabung dalam intervensi militer yang diklaim dilakukan sesuai dengan kerangka multilateral.

Tipe intervensi militer kedua adalah multilateral. Berdasarkan berbagai kasus yang sudah pernah terjadi, setidaknya kerangka multilateral NATO dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjadi dasar intervensi militer multilateral untuk mempengaruhi proses perubahan rezim di suatu negara. Intervensi militer NATO, misalnya, jelas dapat dilihat perannya dalam kasus Kosovo.

Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 tentang kondisi keamanan di Libya sesungguhnya memberi sedikit warna berbeda bagi kerangka multilateral dalam kaitannya dengan proses perubahan rezim. Resolusi 1973 tetap mendasarkan diri pada Bab VII Piagam PBB. Butir ke-8 resolusi tersebut memberi otorisasi kepada negara anggota yang telah memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan Liga Arab untuk menerapkan semua cara yang dibutuhkan guna memastikan dipatuhinya larangan terbang bagi Libya.

Kasus ini agak unik karena butir ke-8 inilah yang dijadikan dasar bagi inisiatif sebagian anggota Dewan Keamanan PBB, yaitu Prancis, Inggris, dan Amerika, untuk
melancarkan intervensi militer dengan kekuatan udara yang cukup canggih dan menyerang basis militer, khususnya bagian pertahanan udara Libya. Intervensi militer koalisi di Libya juga tidak menggunakan kerangka NATO pada periode awal karena Prancis, Inggris, dan Amerika belum berhasil membuat ke-28 anggota NATO menyetujui adanya tindakan militer apa pun terhadap Libya, selain embargo militer.

Akhirnya kerangka multilateral yang lebih jelas, dalam hal ini NATO, tetap dibutuhkan untuk mengawal resolusi 1973 ini. Selain itu, pasukan koalisi berharap serangan udara saja dapat mempengaruhi perubahan rezim yang cepat di Libya. Padahal, apabila belajar dari kasus Kosovo, NATO akhirnya harus menurunkan pasukan darat untuk segera menumbangkan rezim Milosevic.

Namun, jika tetap bertahan dengan resolusi 1973, pasukan NATO hanya bertugas melindungi masyarakat sipil dengan penerapan zona larangan terbang, dan hal ini berarti tumbangnya rezim Qadhafi bukanlah tujuan operasi militer NATO. Jelas bahwa kasus Libya memberi beberapa nuansa baru, terutama karena kekuatan koalisi berusaha mencoba kerangka multilateral tanpa NATO dalam periode awal dan pasukan koalisi ini bukan bentukan resmi PBB dalam melaksanakan intervensi militer.

Berbagai pertanyaan banyak diajukan, terutama terkait dengan seberapa cepat proses perubahan rezim akan berlangsung di Libya. Yang dapat dipastikan adalah proses perubahan rezim di Libya akan sangat bergantung pada perpaduan dinamika variabel di atas beserta variannya.



Sumber: Tempointeraktif

No comments:

Post a Comment